Oleh: Desri Erwin
Pendahuluan
Meningkatnya laju kerusakan lingkungan hidup dengan datang silih bergantinya berbagai bencana ekologis seperti banjir dan longsor, kekeringan, angin puting beliung, pencemaran air, polusi udara, kebakaran hutan dan lahan, serta meningkatnya kepunahan berbagai jenis spesies langka dan endemik memperlihatkan bahwa model pembangunan yang dominan bersifat eksploitatif, tidak ramah terhadap lingkungan, serta menegasikan Hak Asasi Manusia terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat perlu ditelaah secara kritis kembali agar penerapan model pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan, dengan tanpa mengorbankan generasi sekarang maupun bagi generasi mendatang dapat secara nyata direalisasikan.
Di lain sisi, kuatnya ekspansi dan kerakusan korporasi dengan massive mengeruk sumberdaya alam untuk dijadikan komoditas bisnis demi kepentingan mengejar keuntungan (profitabilitas), serta sangat mendewakan model pembangunan eksploitatif dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi telah membawa alam dan lingkungan hidup menjadi semakin rusak sehingga sangat sulit untuk dipulihkan kembali (irreversible). Selain itu juga telah memberikan kontribusi melahirkan kesengsaraan dan penderitaan bagi berjuta-juta masyarakat tempatan yang telah lama tinggal secara turun-temurun di suatu wilayah kehidupan, akibat dari rusak dan hancurnya lingkungan dan alam di wilayah kehidupan mereka tersebut. Salah satu korban yang paling menerima dampak buruk dari situasi rusak dan hancurnya lingkungan dan alam tersebut adalah kaum perempuan.
Publikasi Forum Masyarakat Sipil (CSF) Untuk Keadilan Gender Tahun 2011 menyebutkan bahwa dalam konteks kerusakan sumberdaya alam serta dampak dari adanya perubahan iklim, kaum perempuan menjadi pihak yang paling rentan, serta paling menderita atas kerusakan sumberdaya alam, serta dampak dari adanya perubahan iklim yang terjadi, seperti meningkatnya ancaman bencana kekeringan, banjir, perubahan cuaca ekstrim, gagal panen, meningkatnya hama tanaman, serta penyakit yang datang silih berganti[2]. Sementara itu, penelitian Peterson (Aguilar, 2009) menyimpulkan bahwa potensi perempuan mengalami kematian adalah 14 kali lebih besar dibandingkan laki-laki bila terjadinya bencana.Melihat semakin tingginya laju kerusakan alam dan lingkungan dimana telah membuat kaum perempuan menjadi semakin menderita akibat kerusakan lingkungan dan alam tersebut telah mendorong munculnya gerakan Ekofeminisme. Ekofeminisme merupakan gabungan dari gerakan feminisme dan ekologi yang memiliki satu visi, yakni hendak membangun pandangan dunia dan praktiknya yang tidak berdasarkan model dominasi. Jika ekologi melihat baik mahluk hidup, maupun mahluk yang tidak hidup sama dan sederajat, sama halnya dengan feminisme yakni ingin memperjuangan relasi sosial atau hubungan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dimana baik laki-laki ataupun perempuan tidak ada yang berposisi dominan maupun subordinan (Susilo, 2012 : 131). Gerakan Ekofeminisme memberikan penghormatan atas bentuk-bentuk kehidupan non-manusia. Artinya tidak hanya kehidupan manusia saja yang harus dihormati, tetapi menghormati mahluk hidup yang lain seperti bintang, tumbuh-tumbuhan, dan habitat-habitat di sekitar (Ibid, 2012 : 120).
Ekofeminisme
Pemikiran ekofeminisme muncul pertama kali tahun 1974 dalam buku tulisan Francoise d’eaubonne yang berjudul le feminisme ou la mort. Dalam tulisannya tersebut diungkapkan pandangan tentang hubungan langsung antara eksploitasi alam dengan penindasan pada kaum perempuan (Ibid, 2012 : 118). Istilah Ekofeminisme merupakan penggabungan dari dua istilah “ ekologi” dan “feminisme”. Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari interaksi (hubungan timbal-balik) antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Kesadaran ekologi hendak menyatakan bahwa alam beserta mahluk hidup yang ada di dalamnya merupakan hal yang bersifat integral holistik, serta merupakan suatu sistem mata rantai kehidupan dimana jika salah satu bagian dari mata rantai kehidupan tersebut rusak, maka keberadaan manusia beserta mahluk hidup lain yang ada di dalam alam kehidupan juga akan menjadi terancam. Sementara Feminisme merupakan kumpulan pemikiran, pendirian, dan aksi yang berangkat dari kesadaran, asumsi, dan kepedulian terhadap ketidakadilan, ketidaksetaraan, penindasan atu diskriminasi terhadap kaum perempuan, serta merupakan gerakan yang berusaha untuk menghentikan segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan (Fakih, 2001 : 145).
Ariel Salleh (1988) mendefinisikan bahwa ekofeminisme merupakan pengembangan pemikiran terkini dari kaum feminisme yang menyatakan bahwa krisis lingkungan global akhir-akhir ini adalah diramalkan hasil dari kebudayaan patriarkhal”. Definisi diatas diperkuat oleh pandangan Karen J. Warren yang menyatakan bahwa : “kayakinan, nilai, sikap, dan asumsi dasar dunia barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibentuk oleh bingkai pemikiran konseptual patriarki yang menindas, yang bertujuan untuk menjelaskan, membenarkan, dan menjaga hubungan antara dominasi dan subordinasi secara umum, serta dominasi antara laki-laki dan perempuan pada khususnya”. Dari cara berpikir patriarki, dualistik, dan menindas telah berakibat rusaknya alam dan kaum perempuan sebab perempuan dinaturalisasi (dialamiahkan) dan alam difeminisasi (dianggap perempuan), akibatnya tidak jelas kapan penindasan satu berakhir dan kapan yang lain mulai (Ibid, 2012 : 118 – 119). Paham Ekofeminsime juga menegaskan bahwa akar kerusakan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari paham antroposentrisme[3] sebagai kepanjangan tangan dari sistem kapitalis yang dihasilkan oleh budaya patriarki[4]. Pembebasan salah satunya tidak bisa dilakukan tanpa membebaskan penindasan yang lain. Kedua-duanya tidak bisa dipisahkan sebab persoalan lingkungan dan perempuan sangat ditentukan keterpusatan yang terletak pada laki-laki (androsentrisme)[5]. Aliran pemikiran ekofeminsme bukan hanya mampu menerangkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan, namun juga mampu melihat masalah sosial, kultural, dan struktural yang berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antar kelompok manusia (ras, etnik, negara, bangsa, agama, seks, dan gender) dan relasi manusia dengan alam dan lingkungannya yang menyebabkan penderitaan bagi manusia itu sendiri, dalam wujud terjadinya perperang serta kehancuran lingkungan hidup. Titik temu antara gerakan ekologis dan feminis memperlihatkan betapa energi feminitas sangat berpengaruh di dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup di planet dimana tempat kita hidup saat ini,(Wulan, 2007).
Di dalam kehidupan bernegara terdapat beberapa regulasi yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka mendukung filosophi gerakan ekofeminsme, diantaranya terdapat di : (i). UUD 1945, pada Pasal 28H Ayat (1) yang menyebutkan bahwa “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, (ii). UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 9 Ayat (3) menyebutkan “ Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”, (iii). UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Pasal 65, ayat (1). Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, (2). Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, (3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, (4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan, (5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, (iv). UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pada pasal 68 disebutkan pada Ayat (1): Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan, Pasal 68 Ayat (2): Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat : (a). memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Berbagai regulasi yang telah dibuat oleh Negara diatas dapat menjadi alas hak dan basis dasar di dalam memperjuangan keberlanjutan serta kesetaraan hak perempuan dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam dalam rangka menghilangkan segala bentuk ketidakadilan, dominasi, penindasan, eksploitasi terhadap kaum perempuan dalam konteks pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Namun memahami berbagai regulasi tersebut masih perlu ditindaklanjuti dengan melakukan tindakan atau langkah nyata agar gerakan ekofeminsme bisa menjadi arus utama, serta dapat berperan strategis dalam upaya memperbaiki posisi dan hak perempuan dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Terdapat pekerjaan rumah yang harus bahu-membahu didorong dan dilakukan agar gerakan ekofeminsme bisa semakin nyata tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat dalam rangka menghentikan berbagai ketidakadilan terhadap hak dan posisi kaum perempuan dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, antara lain : (i). kaum perempuan perlu mengambil inisatif sendiri untuk harus mulai tampil dan terlibat di dalam setiap proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan pengawasan di dalam program atau aktivitas yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, sebagai pengejawantahan di dalam merealisasikan kesetaraan hak dan keterlibatan aktif kaum perempuan di dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, karena apabila hal ini tidak dilakukan, maka kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam akibat terusmengedepankan perspektif antroposentrisme dan androsentrisme di dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam akan selalu berulang, dan menunggu waktu bahwa hal tersebut akan terjadi kembali. (ii). Kaum perempuan perlu secara sadar untuk terus berupaya meningkatkan pengetahuan, pemahaman, serta kapasitas mereka dalam rangka mengambil peran, fungsi, dan tanggung jawab, serta dapat berpartisipatif aktif di dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam sebagai wujud merealisasikan kesetaraan hak perempuan di dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, (iii). Perlu secara bersama-sama memfasilitasi ditumbuh-kembangkannya wadah diskusi, serta wadah organisasi bagi kaum perempuan agar kaum perempuan dapat berkumpul, membahas, berbagi pengalaman, serta mencari solusi mengenai upaya yang diperlukan dan harus dilakukan dalam rangka memperluas dan memperkuat kesetaraan hak perempuan di dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, karena upaya secara bersama terbukti membuahkan hasil daripada dilakukan secara sendiri-sendiri, (iv). Perlu secara bersama-sama memfasilitasi agar kaum perempuan dapat terus berinisiatif menyampaikan aspirasi, ide, gagasan dengan menggunakan berbagai media komunikasi baik dalam bentuk dialog, tulisan, melalui media cetak maupun elektronik, ataupun melalui event pertemuan yang secara khusus membahas, membicarakan upaya pengarus-utamaan hak perempuan di dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam agar praktek-praktek ketidakadilan terhadap hak kaum perempuan di dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam diketahui dan bisa didorong untuk dicarikan solusi upaya menghilangkannya, (v). Perlu secara bersama-sama mendorong serta memfasilitasi agar kaum perempuan dapat membangun aliansi dan jaringan dengan komponen masyarakat sipil yang lain seperti LSM, Akademisi, berbagai asosiasi profesi, kaum petani, nelayan, dan lain-lain yang konsern, berempati, serta memiliki kepedulian terhadap ketertindasan dan ketidakadilan terhadap hak kaum perempuan di dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, agar tercipta perbaikan kebijakan, prilaku, dan pengetahuan yang dapat mendukung dihilangkannya berbagai bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang dihadapai kaum perempuan di dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam.
Penutup
Dari perspektif gerakan ekofeminisme, upaya menghilangkan berbagai bentuk ketidakadilan serta ketidaksetaraan hak perempuan di dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam tidak hanya dilihat berkaitan dengan permasalahan perjuangan kaum perempuan melawan dominasi laki-laki saja, namun lebih luas daripada hal tersebut, karena berbagai bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang terjadi hingga saat ini terlahir dari sistem dan struktur ketidakadilan yang lebih luas, yang berkaitan dengan aspek regulasi, ekonomi, politik, sosial, kutural , ideologi, dan termasuk didalamnya relasi antara laki-laki, perempuan, dan sumberdaya alam, dimana telah melahirkan berbagai bentuk penindasan, ketidaksetaraan, serta ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan, bahkan dalam konteks posisi dan penderitaan kaum perempuan dihubungkan dari akibat kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam.
Upaya berperan aktif menjadi bagian gerakan ekofeminsime baik dari golongan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan merupakan langkah nyata di dalam mendorong secara bersama-sama proses transformasi sosial menuju tatanan kehidupan yang bersifat emansipatoris, berkelanjutan, serta berkeadilan, dan hal ini perlu terus disebarluaskan dan ditumbuh-kembangkan agar tercipta kesadaran kritis yang menginternalisasi di setiap elemen masyarakat, baik bagi golongan yang pada saat ini pada posisi mendominasi maupun yang didominasi, sehingga akan mendorong terciptanya tatanan kehidupan di masyarakat yang mampu menjunjung tinggi kehidupan bermasyarakat tanpa eksploitasi, tanpa penindasan, tanpa kekerasan, serta tanpa ketidakadilan.
Daftar Pustaka
Shiva, Vandana, 1998, Staying Alive : Women, Ecology, and Survival In India, Kali For Women New Delhi
Shiva, Vandan & Maria Mies, 2005, Ekofeminisme : Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan, Penerbit IRE Press Yogyakarta
Fakih, Monsour, 2002, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Penerbit Insist Press
_________________, 2012, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Penerbit Pustaka Pelajar
Dwi Susilo, Rachmad K, 2012, Sosiologi Lingkungan, Penerbit PT. RajagrafindoPersada, Jakarta
Sukmana, Oman, 2016, Konsep dan Teori : Gerakan Sosial, intrans publishing
Astuti, Tri Marhaeni Pudji, Ekofemisme dan Peran Perempuan Dalam Lingkungan, Indonesian Journal of Conservation Vol. 1 No. 1 - Juni 2012
Wulan, Tyas Retno, Ekofeminisme Transformatif : Alternatif Kritis Mendekonstruksikan Relasi Perempuan dan Lingkungan, Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusi Vol 1 2007
Dokumen Undang-undang Dasar Tahun 19945
Dokumen Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Dokumen Undang-undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dokumen Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Dokumen Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional
Dokumen Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Segala Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
[1]Salah satu Pendiri Perkumpulan Walestra
[2]Untuk lebih detail lihat di dokumen yang diterbitkan oleh Forum Masyarakat Sipil (FMS) yang berjudul “ Keadilan Gender dalam Keadilan Iklim”, Tahun 2011
[3]Antroposentrisme adalah paham yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung.
[4]Budaya Patriarki yaitu sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda.
[5]Androsentrisme adalah sebuah pemahaman yang menjadikan laki-laki sebagai pusat dari dunia. Lelaki dipahami sebagai patokan untuk memandang tentang dunia, tentang kebudayaan, dan tentang sejarah. Pemahaman ini juga menjadikan lelaki atau pengalaman lelaki sebagai norma bagi perilaku manusia.